Khatib sudah memulai khutbahnya, tetapi jama’ah yang sejak
tadi datang, sebagian masih lebih memilih duduk bagian luar masjid atau
nongkrong di luar. Ada juga yang baru datang
dan mampir nongkrong. Ada yang duduk ada yang berdiri. Ada yang duduk di teras gedung
sebelah yang mengitari sisi samping dan depan. Di tempat wudhu, di tangga, di
parkiran.
Pertanyaannya, mengapa mereka lebih memilih di luar daripada
di dalam masjid? Jawabannya bervariasi, ada yang bilang dari luar lebih jelas
apa yang diucapkan khatib. Ada yang bilang biarlah mereka mendapat (pahala) kerbau
dan kami rela dapat ayam. Ada yang bilang biarlah mereka duluan masuk ke
syurga, nanti kita nyusul. Pertanyaannya masih relevankah kita mengajak orang
beribadah dengan menggunakan janji-janji dan ancaman-ancaman bila akhirnya juga
tak ada yang tertarik dengan janji dan tak ada yang takut dengan ancaman?
Yang di luar itu memang ada yang tenang duduk di atas motor,
sisi lantai gedung sebelah, di kantin, tapi ada juga yang berceritera dengan ceritanya sendiri. Ada yang
bilang khutbahnya kurang menarik. Ada juga yang menyimak khutbah dan langsung
mengomentari bagian-bagian tertentu dari khutbah, mungkin retorikanya, mungkin materinya
yang tidak jelas atau ngawur, mungkin materinya bagus tapi penyampaiannya nda
jelas, mungkin materinya membosankan, mungkin materi khutbahnya tidak actual. Pertanyaannya,
apakah materi khutbah juga harus disusun dan di atur seperti fashion di
mall-mall yang dirancang menurut perkembangan selera konsumen?
Ada juga tetap ngobrol seakan tak ada ibadah jum’at yang
akan mereka jalani. Di tempat nongkrong itu justru sambil menunggu khutbah
berakhir, banyak pertemuan antara seorang dengan yang lain yang tak disangka
sebelumnya, di tempat itu banyak lobi-lobi berlangsung, lobi politik, bisnis, lobi
masalah kuliah, dan sebagainya.
Entahlah… tapi di beberapa masjid mewah sangat jarang
terlihat jama’ah jumat yang nongkrong berceritera di bagian luar masjid. Ada yang
sangat bersemangat masuk ke dalam masjid, ada yang datang sebelum masjid
berbunyi, suara khatib menyusup ke pojok-pojok masjid melalui aliran kabel,
hingga ke lantai dasar. Di lantai dasar ada yang menawar barang; songkok,
tasbih, baji koko, alquran, dll.
Tetapi apapun aktivitas mereka, sebenarnya kuping mereka
berkonsentrasi pada sebuah kata yang tanpa kesepakatan tertulis atau
kesepakatan bersama, dapat memerintahkan mereka untuk bergerak memasuki masjid
atau bergabung ke area shalat jama’ah. Ada saat yang mereka nantikan. Dan ketika
saat itu datang, serempak mereka bergerak menuju masjid. Tapi kapan saat itu? Saat
itu hanya ditandai dengan satu kode, yakni kata; “barakallahu”, atau yang ingin
saya sebut sebagai “barakallahu code”.
Hahaha ada-ada aja…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar