Senin, 04 Juni 2012

Makro Kosmos Rumah Bugis


Bola Ugi' 

Dalam bahasa Bugis, kata Bola artinya rumah sedangkan Ugi artinya suku bugis, jadi Bola Ugi dapat diartikan rumah tempat tinggal, baik orang-orang bangsawan maupun bukan bangsawan. Rumah Bugis  dengan material 99% dari kayu memiliki filosofi dan arti tersendiri bagi masyarakat pemangkunya. antara lain:
  1. Dunia Atas (Botting langi): kehidupan diatas alam sadar manusia yang terkait dengan kepercayaan yang tidak nampak (suci, kebaikan,sugesti, sakral). Sebagaimana dalam pemahaman masyarakat pemangkunya (Bugis) bahwa dunia atas adalah tempat bersemayamnya Dewi padi (Sange-Serri). Dengan pemahaman ini banyak masyarakat Bugis menganggap bahwa bagian atas rumah (Botting langi) dijadikan sebagai tempat penyimpanan padi atau hasil pertanian lainnya. Selain itu biasa juga dimanfaatkan untuk tempat persembunyian anak-anak gadis yang sedang dipingit.
  2. Dunia Tengah (Ale-Kawa): Kehidupan dialam sadar manusia yang terkait dengan aktivitas keseharian. Ale-Kawa atau badan rumah dibagi menjadi tiga bagian: (a). Bagian Depan dimanfaatkan untuk menerima para kerabat/keluarga serta tempat kegiatan adat. (b) Bagian Tengah dimanfaatkan untuk ruang tidur orang-orang yang dituakan termasuk kepala keluarga (Bapak/ibu). (c) Ruang Dalam dimanfaatkan untuk kamar tidur anak-anak
  3. Dunia Bawah (Awa Bola/kolong rumah):  Terkait dengan media yang digunakan untuk mencari rejeki, termasuk alat-alat pertanian, tempat menenun, kandang binatang dan tempat bermain bagi anak-anak.
Rumah Panggung Bugis-Makassar

Rumah panggung adalah rumah khas bagi masyarakat Bugis - Makassar. Warga Bugis-Makassar menyebutnya "rumah atas". Maksudnya rumah yang berdiri di atas-nya tanah (tidak langsung bersentuhan dengan tanah), tetapi disangga oleh tiang kayu.

Pada dasarnya rumah tradisionil Bugis dan Makassar bentuknya sama.  Perbedaan hanya pada bagian-bagian tertentu, karena faktor aturan budaya. Misalnya bagian-bagian yang menjadi perlambang keturunan/strata budaya sang pemilik rumah. Rumah keluarga Bangsawan memiliki perbedaan pada beberapa bagian tertentu, dengan rumah masyarakat dari kalangan umum.

Filosofi Rumah Tradisionil Bugis-Makassar

Rumah adat suku Bugis Makassar dapat di bedakan berdasarkan status sosial orang yang menempatinya, Rumah Saoraja (Sallasa) berarti rumah besar yang di tempati oleh keturunan raja (kaum bangsawan) dan bola adalah rumah yang di tempati oleh rakyat biasa.

Tipologi kedua rumah ini adalah sama-sama rumah panggung, lantainya mempunyai jarak tertentu dengan tanah, bentuk denahnya sama yaitu empat persegi panjang. Perbedaannya adalah saoraja dalam ukuran yang lebih luas begitu juga dengan tiang penyangganya, atap berbentuk prisma sebagai penutup bubungan yang biasa di sebut timpak laja yang bertingkat-tingkat antara tiga sampai lima sesuai dengan kedudukan penghuninya. 


Rumah adat suku bugis baik saoraja maupun bola terdiri atas tiga bagian:  
  • awa bola ialah kolong yang terletak pada bagian bawah, yakni antara lantai dengan tanah. Kolong ini biasa pada zaman dulu dipergunakan untuk menyimpan alat pertanian, alat berburu, alat untuk menangkap ikan dan hewan-hewan peliharaan yang di pergunakan dalam pertanian. 
  • alle bola ialah badan rumah yang terdiri dari lantai dan dinding yang terletak antara lantai dan loteng. Pada bagian ini terdapat ruangan-ruangan yang dipergunakan dalam aktivitas sehari-hari seperti menerima tamu, tidur, bermusyawarah, dan berbagai aktifitas lainnya. Badan rumah tediri dari beberapa bagian rumah seperti: lotang risaliweng, bagian depan badan rumah yang berfungsi sebagai ruang menerima tamu, ruang tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih, tempat membaringkan mayat sebelum dibawa ke pemakaman, lotang ritenggah atau Ruang tengah, berfungsi sebagai tempat tidur kepala keluarga bersama isteri dan anak-anaknya yang belum dewasa, hubungan social antara sesama anggota keluarga lebih banyak berlangsung disini. lontang rilaleng atau ruang belakang, merupakan merupakan tempat tidur anak gadis atau orang tua usia lanjut, dapur juga di tempatkan pada ruangan ini yang dinamakan dapureng atau jonghe.  
  • rakkeang ialah loteng yang berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil pertanian seperti padi, jagung, kacang dan hasil perkebunan lainnya. 
Sebagaimana halnya unsur-unsur kebudayaan lainnya maka teknologi arsitektur tradisionalpun senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan. Hal ini juga mempengaruhi arsitektur tradisional suku bangsa bugis antara lain bola ugi yang dulunya berbentuk rumah panggung sekarang banyak yang di ubah menjadi rumah yang berlantai batu. Agama Islam juga memberi pengaruh kepada letak dari bagian rumah sekarang yang lebih banyak berorientasi ke Ka'bah yang merupakan qiblat umat Isalam di seluruh dunia. Hal tersebut di karenakan budaya Islam telah membudaya di kalangan masyarakat bugis makassar, simbol-simbol yang dulunya di pakai sebagai pengusir mahluk halus yang biasanya diambil dari dari jenis tumbuh-tumbuhan dan binatang tertentu diganti dengan tulisan dari ayat-ayat suci Al-Qur’an.

sumber:
http://dgmaillong.blogspot.com/2008/01/filosofi-rumah-tradisional.html, Dikutip dari Acuan Perancangan (Tugas Akhir) “RUMAH SUSUN PADA PERMUKIMAN KUMUH DI MAKASSAR. Tahun 2001/2002 Oleh : Muhammad, Ismail ST.)

Asal Kata Bugis


Kata Bugis Berasal Dari Nama La Sattumpugi. Suku Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero-melayu, atau Melayu muda. masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata ‘Bugis’ berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan ‘ugi’ merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Tiongkok, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi.

Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading.

 
Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar didunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

 
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan lain. Masyarakat Bugis ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik dan besar antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa dan Sawitto (Kabupaten Pinrang), Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk etnik Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.
Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi Birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

 
Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad 16,17,18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama didaerah pesisir. Komunitas Bugis hampir selalu dapat ditemui di daerah pesisir di nusantara bahkan sampai ke Malaysia, Filipina, Brunei dan Thailand. Budaya perantau yang dimiliki orang Bugis didorong oleh keinginan akan kemerdekaan.

Sumber : http://blog.yudihardis.com/?p=51&cpage=1#comment-3839